Sunday, August 26, 2012

PPC Pay Per Click Indonesia Terbaru

PPC Pay Per Click Indonesia Terbaru - Semakin menjanjikan nya bisnis online di internet, semakin banyak pula program program periklanan yang beredar. Salah satunya yang terbaru adalah startup lokal PESAN.COM, berdiri pada 19 agustus 2012 layanan penyedia jasa periklanan online di jaringan website ini bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk para publisher atau pun juga advertiser di indonesia .

Yang menjadi nilai tambah atau kelebihan PPC Indoneisa satu ini adalah pay out atau pembayarannya yang dilakukan setiap hari, asalkan saldo pendapatan anda sudah mencapai minimum Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) . Sehingga tidak usah menunggu lama apabila anda ingin segera mendapatkan penghasilan dari pesan.com .

Cara Mendaftar di Pesan.com juga sangat mudah, hanya tinggal mengisi profile anda di bagian publisher atau advertiser lalu konfirmasi pendaftaran anda via e-mail, maka anda telah tergabung dengan program program yang dimiliki oleh pesan.com . berikut link pendaftaran nya ,


Karena PPC ini masih baru, maka bisa dipastikan akan ada program program menarik lainnya yang akan di hadirkan oleh pesan.com .  Rate per click nya juga lumayan loh .

jangan sampai ketinggalan juga situs download gratis Vuclip dan artikel menarik tentang sumbangan islam terhadap ilmu pengetahuan .

Saturday, August 25, 2012

Sumbangan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan


Islam dan Ilmu Pengetahuan

Tradisi Keilmuan dalam Islam

      Islam merupakan agama terakhir yang risalahnya disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak tertutupi oleh dongeng dan khayal. Islam sangat menjungjung tinggi posisi ilmu pengetahuan. hal ini dapat terlihat dari wahyu Allah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah “Bacalah!”.Lebih jauh lagi dalam Al-Qur’an terdapat banyak bersisi pertanyaan seperti: “Apakah kalian tidak berfikir?” (Afalaa tatafakkarun”), “Apakah kaliah tidak berakal?(Afalaa ta’qiluun)”, serta banyak lagi  ayat Al-Qur’an dan Hadits yang lainnya yang mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menuntut ilmu. Menurut Dr. Ahmad Amin, seorang guru besar sastra Universitas Al-Qahirah (Poeradisastra 12:2008), “pada awal kemunculan Islam hanya ada tujuh belas orang suku bangsa Quraisy yang pandai baca-tulis”. Hal ini menunjukan bahwa pada masa tersebut keadaan masyarakat arab sangat jahiliyyah, ilmu pengetahuan belum “mendapatkan” tempat di masyarakat.

      Setelah Muhammad  diutus menjadi nabi, beliau menganjurkan kepada sahabat dan kaum muslimin untuk belajar membaca dan menulis, diantaranya Aisyah (Istri Nabi Muhammad), Zaid bin Tsabit (yang diperintahkan untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani) serta lebih jauh lagi budak-budak belian dibebaskan apabila mereka telah mengajar sepuluh orang Muslimin membaca dan menulis. Selain itu, untuk keperluan menda’wahkan Islam, maka nabi Muhammad mengembangkan gerakan untuk “baca-tulis” yang pada masa itu belum pernah dilakukan sebelumnya (oleh kaum Quraisy), sehingga kepandaian baca-tulis tidak lagi hanya milik kaum cendikiawan, tetapi seluruh kaum Muslim. Hal ini merupakan tonggak awal gerakan ilmu secara besar-besaran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.  Dalam waktu-waktu kemudian tradisi keilmuan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin, begitu juga pada masa selanjutnya yaitu pada masa Daulah Umayah dan Abbasyiah.
               
Tradisi Keilmuan pada masa Daulah Umayyah dan Abbasiah      
       Seiring dengan daerah kekuasaan Islam semakin bertambah, mencakup berbagai suku bangsa, Ras, dan bahasa dengan penduduknya di samping yang telah memeluk Islam, masih menganut agama-agama Yahudi, Kristen, kafir Yunani dan Romawi, Zoroaster, Manes, dan Hindu serta kebudayaan Mesir (Kopti/Qibthi dan Nubia), Turki, dan Parsi. Oleh karena itu, berbagai  bahasa, sistem tata negara, kebudayaan, dan sejarahnya mesti dipelajari untuk dapat menjalankan ketatanegaraan, hukum serta penyebaran agama Islam secara jitu. Dalam pertemuan dengan keanekaragaman dan untuk membela Islam dan sisa-sisa agama dan kepercayaan lain itu, kaum Muslimin mulai mempelajari dan mengembangkan filsafat Yunani, tetapi terlebih dahulu membersihkannya dari kekufuran. Untuk itu dirintis penerjemahan karya-karya filsafat dan pengetahuan Yunani melalui bahasa Suryani karena aslinya telah musnah terbakar di perpustakaan-perpustakaan di Iskandariah ketika penyerbuan Julius Cesar (tahun 48 Pra-Masehi), kemudian oleh Kaisar Lucius Domitius Aurelianus (272 Masehi) dan oleh Jendral Theodosius (371 Masehi).

    Pada masa Daulah Abbasiah, tradisi keilmuan kaum Muslimin dilanjutkan, diantaranya pada masa Khalifah Abu Ja’far Abdullah Al-Manshur(735-775M) telah dipekerjakan para penerjemah untuk menterjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat dari bahasa Yunani, Parsi dan Sanskrit. Pada masa kekhalifahan Al-Maimun bin Harun Al-Rasyid (813-832 M) didirikan Darul Hikmah/akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia yang terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, observatorium bintang, dan Universitas. Bahkan Fakultas Kedokteran telah didirikan oleh Jurjis bin Naubakht pada tahun 765. Selain itu Al-Maimun mengirim para penerjemah ke Konstantinopel, Roma dan lain-lain untuk memilih buku-buku pengetahuan yang belum dipunyai oleh Umat Islam yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan, diteliti dan dikembangkan. Maka lahirlah ilmu pengetahuan dari kalangan Islam sendiri, baik yang bersifat memperkaya karya-karya asing yang telah ada maupun yang sama sekali baru ditemukan oleh Umat Islam.

      Akhirnya pembangunan Ilmiah Islam disempurnakan oleh kekuasaan Islam di Andalusia dan Spanyol dari tahun 719M sampai jatuhnya Granada tahun 1492M yang kemudian melahirkan kemajuan-kemajuan dalam berbagai disiplin Ilmu pengetahuan. Ilmuan Muslim yang bertolak ukur dari tauhid menganggap hukum-hukum alam sebagai Sunnatullah yang objektif,tertib dan teratur. Mereka tidak me-rancukan kepercayaan dengan dengan metode pembahasan ilmiah atau memutarbalikan fakta-fakta. Segala kesimpulan objektif yang telah ditelaah tidak pernah sekalipun bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Al-Qur’an selalu memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah. Sayyed Hossein Nasr Ph.d (Harvard University) mengemukakan, “ilmu pengetahuan Islam menjadi ada dari suatu perkawinan antara semangat yang memancar dari wahyu Allah dan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah melalui daya tenaga rohaninya menjadi sebuah zat yang baru. Sifat internasional dan cosmopolitan peradaban Islam dan terpantul dari peredaran keilmubumian dunia Islam sehingga memungkinkan Islam menciptakan ilmu pengetahuan pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah Umat Islam….” (Poeradisastra 18:2008).

Kebohongan Sejarah: Islam Penemu Metodologi Ilmu
       Tertarik oleh metode ilmiah Islam, seorang frater Katolik Roma anggota ordo Fransiskan dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M) datang untuk mempelajari bahasa Arab ke Paris dan Toledo. Banyak terjemahan buku ilmiah Islam ke dalam bahasa latin di sana dan terdapat pula naskah-naskah asli dalam bahasa Arab. Bermodalkan bahasa Arab, Roger Bacon mempelajari ilmu pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam, begitu juga banyak orang-orang Kristen lainnya. Antara tahun 1250-1257 M ia pulang dan melanjutkan pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa banyak buku-buku ilmiah Islam di Paris, diantaranya: Al-Manazhier karya Ali Hasan ibn Haitsam (965-1038 M) yang kemudian diterjemahkan oleh Bacon kedalam bahasa Latin (bahasa ilmiah Eropa pada waktu itu). Terdapat keterangan-keterangan mengenai mesiu dan mikroskop dalam naskah-naskah tersebut. Bacon secara tidak jujur telah mencantumkan namanya sendiri pada terjemahan itu dan dengan demikian demikian melakukan plagiat terang-terangan. Hal itu sangat berbeda dengan tradisi umat Islam yang selalu mencantumkan nama-nama pengarang aslinya ketika menerjemahkan karya-karya Pythagoras (530-495 SM), Plato (425-247 SM), Aristoteles (388-322 SM), Aristarchos (310-230 SM), dan lain-lain.

     Kira-kira empat abad kemudian, seorang Inggris lainnya bernama Francis Bacon (1561-1627 M) menyebarluaskan Teori Induksi dan percobaan-percobaan (Experiments) ilmiah atau empirisme ilmiah di dalam karya-karyanya The Advancement Of Learning (1605 M), Novum Organum (1620 M), De Augmatis Scientiarum (1623 M), Sylva Sylvarum (1624 M) dan New Atlantis(1624 M). Berkat adanya penemuan cetak buku oleh Johan Gotenburg (1450 M), buku-buku tersebut dicetak yang kemudian ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat di Barat. Maka sejak itulah Francis Bacon disebut sebagai penemu metode Ilmiah. Demikianlah kondisi dunia Barat yang buta mengenai asal-usul metode ilmiah yang sebenarnya berasal dari ilmuan Islam.

     Robert Stephen Briffault (1876-1948 M) salah seorang ilmuan Barat mengatakan, “Roger Bacon maupun  kemudian teman senamanya (Francis bacon) tidak mempunyai hak untuk dipuji karena telah memperkenalkan metode percobaan. Roger Bacon tidak lebih hanya seorang utusan dari ilmu pengetahuan dan metode Muslim kepada orang Eropa Kristen…perbincangan-perbincangan mengenai siapa pengasal metode percobaan merupakan bagian salah tafsir raksasa mengenai asal-usul peradaban Eropa…”. Hal ini menujukan pengakuan ilmuan Barat yang jujur terhadap ilmuan Islam.
  
Sumbangan Islam terhadap Ilmu pengetahuan Modern

       Banyak sekali sumbangan ilmuan Islam terhadap ilmu pengetahuan modern. Dalam Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam, Islam menyumbangkan ilmu hitung berupa angka-angka yang di Eropa masih disebut angka-angka Arab meskipun bentuknya sudah diubah. Selanjutnya adalah asas Algorisme, yaitu sistem hitungan nilai angka menurut tepat dari kanan ke kiri: satuan, puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya serta sistem persepuluhan (decimal) yang pada angka-angka Romawi tidak mempunyai angka nol dan tidak cocok untuk dipakai bagi sistem persepuluhan dengan angka-angka dibelakang koma. Perintis ilmu pasti Muslim adalah Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi (194 H/780 M). Bukunya Al-jabr wal Muqabala (pengutuhan kembali dan perbandingan) dalam terjemahan latinnya (Liber Algoritum) merupakan rangsangan kepada ilmu pasti Eropa abad pertengahan. Dari sinilah asalnya istilah algebradi dalam bahasa Eropa. Abu Abbas Al-Fadzal Hatim Anniraizi telah membuat Planetarium yang ketepatannya diakui oleh angkatan seabad kemudian. Selanjutnya Abu Raihan ibn Ahmad Al-Biruni yang membahas tentang sinar, warna-warni (Colorite) dan optika. Ia mengoreksi pendapat Euclides dan ptolomeus yang keliru bahwa benda menjadi terlihat karena mata memancarakan cahaya kepada benda, Ia menegaskan bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Selanjutnya lagi Umar Khayyam yang menurut Isaac Asimov (ilmuan Barat) menjadi orang pertama yang menggarap sudut-sudut lurus sebuah persegi khas di dalam kaitan dengan dalil Euclides. Dalam bidang mekanika, ilmuan-ilmuan Muslim telah mengenal hukum jatuhnya benda (Gravitasi) dan ilmu gerak, jauh sebelum Isaac Newton (1642-1727 M). Pusat farmasi terbesar berada di berbagai wilayah Islam, terutama di kota akademik Baghdad dan Kurthubah (Cordova). Ilmuan Islam-lah yang pertama menggunakan tabung percobaan (Test Tubes). Selain itu kaum muslimin merupakan pembuat dan pemakai sabun bersama minyak wangi pertama yang baru dikenal oleh orang Barat sejak perang salib.  

      Dalam ilmu bumi, Muhammad Asysyarif Al- Idrisi (110-1166 M) berhasil melukiskan dengan tepat letak permukaan bumi secara ilmu bintang. Selain itu Al-Biruni yang berhasil menetapkan garis Lintang dan Garis bujur Bumi secara tepat. Dalam bidang kedokteran Abu bakar Muhammad ibn Zakariyya Arrazi (di Barat dikenal dengan nama Razes) merupakan penemu Air Raksa. Selain itu ia orang yang pertama mendiagnosis penyakit cacar dan membedakannya antara cacar air (variola) dan cacar merah (Rougella). Penerusnya adalah Syaikh Abu Al-Husyain ibn Sina (di Barat dikenal dengan Avicenna) yang pertamakali menunjukan peranan udara bagi penularan penyakit, selain itu ia-pun perintis peneliti penyakit syaraf (Neurasthenia). Dalam ilmu Sejarah dikenal Al-Maqrizi yang dianggap sebagai penulis sejarah yang paling objektif, sekalipun ia menulis raja yang masih berkuasa, ia menulis secara objektif padahal sejarah sejaman (I’histoire contemporaine, contemporary historie) merupakan hal tersulit bagi seorang penulis sejarah untuk tidak memihak (non partisan). Namun yang paling terkenal di Barat adalah Ibn Khaldun. Ia menulis sebuah pengantar yang dalam terjemahan latinnya lebih dari 500 halaman. Dalam pengantar buku tersebut (Muqadimah) ia menerangkan kaidah-kaidah yang dipakainya dalam meneliti sejarah. Sejarah tidak boleh hanya sekadar menyampaikan kisah-kisah, masuk akal atau tidak, cara spekulatif-metafisika seperti pada mitos dan dongeng. Dengan demikian ia menjadi konseptor pertama penulisan sejarah (Historiografi) modern serta ia lebih besar dari George W.F. Hegel, Benedetto Croce maupun Arnold J. Toynbee.

      Apa yang diungkapkan diatas merupakan sebagian kecil dari jutaan sumbangan ilmuan Muslim terhadap ilmu pengetahuan modern. Kenyataan sekarang, masih sangat banyak ilmuan Muslim beserta hasil karyanya yang belum banyak diketahui oleh kalangan Muslim sendiri. Lebih ironis lagi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia sangat sedikit sekali diungkapkan fakta sejarah yang sebenarnya mengenai sumbangan Islam dan ilmuan Muslim terhadap ilmu pengetahuan modern sehingga kebohongan sejarah secara terus-menerus tidak terungkap. Wallahu A’lam bis-Shawab.

Oleh    : Fadli Roby S.Pd 
       Guru Mata Pelajaran Sejarah di Pesantren Persatuan Islam no 31 Banjaran Kabupaten Bandung.


Lihat juga postingan sebelumnya tentang Sejarah,ilmu pengetahuan dan Al'Quran & Peran Penting Pendidikan Sejarah .

Sejarah, Ilmu Pengetahuan dan Al-Quran

Sejarah, Ilmu Pengetahuan dan Al-Qur’an

            Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa Arab (syajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, dalam bahasa Yunani adalah historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte (yang berarti yang terjadi), dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis. Melihat makna dari arti bahasa-bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah menyangkut waktu dan peristiwa, yaitu  merupakan peristiwa terdahulu yang benar-benar terjadi. Waktu adalah penting dalam memahami suatu peristiwa.

            

Tidak ada seorang manusia pun yang kehidupannya terlepas dari sejarahnya. Dengan sejarah diharapkan generasi sekarang mampu memahami dan mengenal dirinya sendiri dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu (generasi terdahulu), memahami masa lampaunya,  masa kekiniannya, dan mampu “meneropong” ke masa yang akan datang, tentunya dengan modal pemahaman terhadap masa lampau dan masa kini untuk berpijak pada masa depan yang lebih baik.

            Dalam Al-qur’an begitu banyak kisah-kisah dan peristiwa masa lalu yang telah Allah abadikan agar kita sebagai manusia dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Dari sejak nabi Adam AS hingga nabi Muhammad SAW, telah begitu panjang sejarah kehidupan manusia. Rekaman dan catatan kehidupan dari sejak dulu hingga kini menjadi pengalaman dan pengajaran bagi umat-umat atau generasi-generasi berikutnya. Al-qur’an membimbing manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kita dituntut untuk berpikir memahami setiap peristiwa yang diabadikan Allah tersebut. Tidak semata-mata Allah mengisahkan peristiwa-peristiwa sejarah umat terdahulu dalam Al-qur’an kecuali agar manusia bisa mengetahui, memahami dan mempelajarinya yang kemudian mengambil hikmah bagi kehidupannya. 

            Sebagai contoh dalam Al-qur’an (Surat Yunus:75-92), dikisahkan bagaimana salah seorang raja mesir (Fir’aun Mineptah) yang ditenggelamkan oleh Allah akibat ulah-nya mendustakan ayat-ayat Allah yang disampaikan Nabi Musa. Kemudian Allah selamatkan jasadnya, dengan tujuan agar manusia mendapat pelajaran dari peristiwa tersebut.
           
            Ilmu Pengetahuan Modern dan Al-qur’an
            Peristiwa diselamatkannya jasad Fir’aun Mineptah setelah ditenggelamkan oleh Allah yang diabadikan dalam Al-qur’an tersebut kemudian pada tahun 1975 diteliti oleh seseorang berkebangsaan Prancis yang bernama Prof. Dr Maurice Bucaille. Bucaille adalah seorang ahli bedah kenamaan Prancis dan pernah mengepalai klinik bedah di Universitas Paris. Ia dilahirkan di Pont-L’Eveque, Prancis, pada 19 Juli 1920, dan pada 1973, ia ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya. Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya. Namanya mulai terkenal ketika ia menulis buku tentang Bibel, Alquran, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa Prancis yaitu La Bible, le Coran et la Science di tahun 1976.

            Ketertarikan beliau terhadap Islam mulai muncul ketika secara intens dia mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille untuk meneliti, mempelajari dan menganalisis mumi Fir’aun Mineptah ini, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjawab misteri di balik penyebab kematian Fir’aun Mesir kuno tersebut.

            Ternyata hasil akhir penelitian yang diperolehnya tersebut sangat mengejutkan. Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet. Penemuan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan dalam pikiran beliau. Bagaimana jasad tersebut bisa lebih baik dari jasad-jasad yang lain, padahal dia dikeluarkan dari laut?. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan, mumi tersebut baru ditemukan sekitar tahun 1898 M, padahal Al-qur’an telah ada ribuan tahun sebelumnya. Sementara itu, dalam kitab suci agama lain, hanya membicarakan tenggelamnya Firaun di tengah lautan saat mengejar Musa tetapi tidak membicarakan tentang mayat Firaun yang diselamatkan tersebut. Bucaille pun makin bingung dan terus memikirkan hal itu. ”Apakah masuk akal mumi ini adalah Firaun yang akan menangkap Musa? Apakah masuk akal, Muhammad mengetahui hal itu, padahal kejadiannya ada sebelum Alquran diturunkan?”.

            Setelah beliau berpikir dan bertukar pikiran dengan para ilmuan Muslim yang menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an (Surat Yunus:92) telah diceritakan kisah jasad Fir’aun yang diselamatkan oleh Allah, beliau kemudian menyimpulkan bahwa agama Islam itu benar, bahwa ayat Al-qur’an tersebut masuk akal dan mendorong ilmu pengetahuan untuk maju. Akhirnya beliau menyatakan ke-Islamannya dan beriman terhadap Al-qur’an dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

            Belajar dari Sejarah
            Salah satu kisah sejarah yang diabadikan dalam Al-qur’an ini memberikan pelajaran kepada kita sebagai manusia yang hidup di jaman sekarang. Bagaimana kita sebagai hamba Allah dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Bagaimana Allah begitu jelas memberikan petunjuk kepada kita baik dalam Al-qur’an maupun hadits Rasulullah SAW. Begitu banyak kisah-kisah lainnya dalam Al-qur’an yang memberikan gambaran kepada kita untuk diambil hikmah dan pelajaran dalam mengarungi kehidupan ini.  
    
            Kisah dalam kitab suci al-Qur'an sangat penting untuk dijadikan petunjuk dan sekaligus pendidikan bagi manusia untuk mengenal diri dan juga Tuhannya. Itulah salah satu di antara cara yang bisa kita tangkap, bagaimana Allah SWT mendidik manusia lewat al-Qur'an, dengan memberikan kisah-kisah nyata tentang kehidupan manusia, sejak awal kejadiannya hingga berbagai zaman selanjutnya. Wallahualam bisshawab

Oleh    : Fadli Roby S.Pd 
             Guru Mata Pelajaran Sejarah di Pesantren Persatuan Islam no 31 Banjaran Kabupaten Bandung.

Lihat Juga postingan sebelumnya tentang Peran Penting Pendidikan Sejarah dan Vuclip 

Peran Penting Pendidikan Sejarah - Kasus etnis muslim Rohingya Myanmar


Peran Penting Pendidikan Sejarah
(Kasus etnis muslim Rohingya Myanmar)

    Beberapa hari ini kita menyaksikan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik berita mengenai peristiwa yang terjadi di Rakhine (dulu bernama Arakan) yang terjadi di negara Myanmar (Burma) yaitu kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya. Berbagai aksi solidaritas dan kecaman disampaikan oleh berbagai negara, menuntut pemerintah Myanmar segera menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim yang notabene sama dengan keyakinan orang rohingya, turut serta aktif menghentikan permasaslahan yang terjadi di Rakhine Myanmar.  

         Permasalahan kekerasan terhadap Muslim Rohingya sudah terjadi sejak lama, tidak diakuinya etnis ini oleh pemerintahan junta militer Myanmar menjadi sebab utama alasan mengapa kekerasan demi kekerasan terjadi secara terus menerus. Pemerintah Myanmar bersikeras bahwa Rohingya bukan termasuk warga Negara Myanmar, mereka hanya sebagai pendatang ilegal pada tahun 1948 yang tidak layak termasuk bagian dari salah satu etnis yang diakui pemerintah, puncaknya yaitu setelah amandemen undang-undang kewarganegaraan tahun 1982. Melalui undang-undang ini, pemerintah Junta militer Myanmar mengabaikan hak kewarganegaraan etnis Rohingya dengan tidak mengakui etnis Rohingya sebagai penduduk negaranya, akibatnya etnis Rohingya tak bisa menikmati pendidikan, layanan kesehatan,  pekerjaan yang layak dan akses-akses kemasyarakatan lainnya. Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan. Apalagi secara kebetulan mereka berbeda ciri-ciri fisik, agama dan kebudayaan. Fakta inilah yang kemudian seakan-akan semakin mendukung  bahwa muslim Rohingya berbeda dengan masyarakat lainnya, mereka bukan bagian dari warga Myanmar.

       Cara junta militer Myanmar menyingkirkan etnis Rohingya sangat sistematis dan terstruktur. Telah terjadi manipulasi sejarah etnis Rohingya selama beberapa dekade silam secara terus-menerus oleh para sejarawan Myanmar. Sebut saja nama Khin Maung Saw, Maung Maung atau Aye Chan. Ketiganya merupakan sejarawan Myanmar yang menuliskan karya-karyanya yang kemudian diikuti dan dirujuk oleh mayoritas masyarakat Myanmar, termasuk oleh junta militer. Mereka menganggap bahwa Rohingya merupakan etnis yang masuk ke wilayah Myanmar secara ilega. Lebih mengerikannya lagi, manipulasi sejarah ini diajarkan dalam kurikulum pendidikan di Myanmar. Hal ini yang kemudian semakin menyebabkan tidak diakuinya etnis Rohingya serta mengakarnya kebencian mayoritas masyarakat Myanmar sehingga kekerasan dan intimidasi terus-menerus terjadi. Muslim Rohingya menghadapi genosida di negerinya sendiri. Aung San Suu Kyi (tokoh demokrasi yang berpengaruh di Myanmar, peraih Nobel perdamaian) termasuk sosok yang terpengaruh paham produk sejarah yang menyesatkan ini, sehingga wajar jika pada akhirnya dia tidak memperjuangkan hak-hak hidup “saudara” senegaranya ini (etnis Rohingya). Matahatinya seolah tertutup oleh manipulasi sejarah, sehingga sangat wajar bila dia menjadi sasaran kritik masyarakat dunia terkait permasalahan ini.

       Beberapa waktu yang lalu kita mendengar pernyataan yang sangat mengagetkan dari presiden Myanmar Thein Sein, ia mengatakan, sebaiknya Muslim Rohingya dikirim ke kamp pengungsi yang dikelola oleh PBB. Bahkan yang lebih mengagetkan lagi, mantan Jenderal Junta militer Myanmar tersebut mengatakan bahwa satu-satunya solusi untuk mengatasi konflik Muslim dan Buddha di Myanmar adalah dengan mengirim Muslim Rohingya ke luar Myanmar dan akan mengusir muslim Rohingya jika ada negara ketiga yang mau menerima mereka. Melihat pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah junta militer Myanmar sangat bersikeras melakukan proses pengaburan fakta sejarah sehingga terjadi pembantaian demi pembantaian terhadap kelompok etnis Rohingya, tujuannya sudah sangat jelas, menghapus etnis Rohingya dari Myanmar!


       Sebenarnya manipulasi sejarah ini telah dipatahkan dengan baik oleh ahli sejarah sekaligus periset sosial Habib Siddiqui, Francis Buchanan-Hamilton, Jacques Leider dan M. Ali Chowdhury. Menurut fakta yang mereka temukan, bahwa etnis Rohingya itu sudah ada di wilayah Arakan, jauh sebelum terbentuknya pemerintahan junta militer Myanmar. Bahkan menurut ilmuan lainnya, Ashraf Alam secara tegas menyebutkan dalam sejumlah karyanya bahwa etnis muslim Rohingya merupakan penopang utama kemaharajaan “Mrauk-U” di Arakan sebelum Inggris masuk ke Burma. Fakta ini sebenarnya mampu mematahkan klaim pemerintah junta militer Myanmar yang menyatakan bahwa etnis Rohingya memasuki Myanmar secara ilegal pada tahun 1948. Akan tetapi yang menjadi permasalahan yaitu sejarah selalu berhubungan dengan kepentingan penulisannya. Seperti yang terjadi di Myanmar ini, sejarah dijadikan sebagai alat propaganda penguasa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, bahkan dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Hal inilah yang kemudian menjadi alat efektif pemerintah mencapai tujuannya melenyapkan etnis rohingya dari Myanmar.

       Sejarah merupakan alat untuk merekam masa lalu. Objektifitas dalam sejarah sangat penting. Jika dilihat dari apa yang terjadi di Myanmar ini, sejarah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap  pandangan mayoritas masyarakat yang membenci etnis muslim Rohingya saat ini. Apalagi setelah dimasukan kepada kurikulum pendidikan. Siswa akan sangat terpengaruh dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, akan begitu sangat membekas. Sejarah “mampu menunjukan” siapa pahlawan siapa pemberontak, siapa penjahat dan siapa penyelamat, tergantung dengan “pesanan”. Kitapun pernah mengalami fenomena kondisi seperti ini, ketika sejarah dijadikan alat oleh kekuasaan Orde Baru. Bagaimana begitu melekatnya dalam pikiran kita ketika mendengar PKI yang terbayang adalah kekejamannya, membunuh dengan sangat tidak manusiawi misalnya dengan memotong kemaluan dengan silet, atau doktrin-doktrin lainnya yang kita dengar dari guru-guru kita dahulu.

        Pendidikan sejarah merupakan wahana yang efektif dalam rangka pembentukan karakter bangsa, maka sudah sepatutnya pendidik sejarah menjadi fasilitator pembelajaran yang objektif agar potensi-potensi kekritisan siwa dapat tergali, bukan justru menjadi pendidik sejarah yang menghakimi, apalagi  bertujuan kekuasaan.  Wallahu alam bisshawab.


Oleh    
Fadli Roby S.Pd 
Guru Mata Pelajaran Sejarah di Pesantren Persatuan Islam no 31 Banjaran Kabupaten Bandung.